Perjalanan yang membawaku melintasi benua, menyusuri negara, provinsi, kota, dan pulau dengan segala jenis kendaraan, akhirnya berhenti di sini. Tapi anehnya, justru di hari kesebelas ini, di tengah heningnya Belanda, aku merasa linglung.
Pikiranku seolah tertinggal di suatu tempat antara zona waktu yang kutinggalkan dan yang kudatangi. Mungkin karena begitu kaki menapak di sini, hidup langsung diserbu oleh ritme yang tak kenal ampun: memimpin rapat, menyelam kembali ke dalam pekerjaan yang telah sebulan terbengkalai. Otak dan badan ini tak diberi kesempatan untuk sekedar bernapas, untuk merasakan dalam diam, “Aku sudah sampai.”
Bahkan perubahan suhu yang drastis, selisih 25 derajat itu, tak kuhirau. Tubuhku diam-diam memberontak dengan caranya sendiri: hidung yang memerah tiba-tiba, kulit yang kering keriput seolah berkata, “Kita tidak muda lagi.” Ah, rupanya jasmaniku belum siap mencerna semua perubahan ini. Minggu pertama adalah sebuah badai. Selain rapat dan laporan, ada juga umpan balik dari rekan-rekan penulis yang harus kutelan, dan diskusi 60 menit yang mendebarkan dengan dosen pembimbing.
Lalu, datanglah kabar tentang grant proposal yang tengah terbuka, dengan tenggat waktu 19 November. Telepon pun mulai berdering, suaraku menyebarkan kabar ini kepada rekan-rekan yang kurasa akan tertarik. Dan benar, belum lama pesanku melayang, datanglah balasan yang hangat dan bersemangat, let’s do it!
Namun, sebuah tantangan baru menganga: “Lakukan apa?” Kami berdua punya ide, tapi masih acak dan tak punya tenaga lebih untuk segera mewujudkannya. Lalu, teringatlah aku pada dua sahabat, seorang guru di sekolah formal dan informal. Kepada merekalah aku berlabuh. Kutanyakan pada mereka tentang denyut nadi pendidikan Indonesia yang sebenarnya: apa yang paling dibutuhkan murid-murid zaman sekarang, dan fakta apa yang paling menantang di lapangan?
Dan percakapan itupun menyala. Dari seberang sana, semangatnya merambat melalui sambungan telepon. Ia dengan detail membeberkan akar permasalahan, sekaligus membukakan jendela-jendela peluang yang bisa kita masuki. Bak seorang pencari harta karun yang mendapat petunjuk peta, aku segera menyelam ke dalam lautan jurnal ilmiah. Dan betapa terkejutnya aku. Ternyata, sudah begitu banyak orang yang membisikkan dan meneriakkan cerita tentang Banda. Menariknya adalah kebanyakan dari mereka ada orang luar, ada beberapa orang Indonesia juga, namun namanya jarang ku dengar.
Hal ini juga menyadarkan saya bahwa, betapa butanya tentang sejarah, betapa mungkin tidak pedulinya tentang tinta-tinta tulisan yang telah ada. Ah kecewa ada, tapi juga senang ada, karena setidaknya saya tahu sekarang. Oya, yang menyenangkan lagi adalah ketika membaca buku tentang Banda, banyak sejarah yang kalau di tapak tilas kan bukti-buktinya ada di Belanda. Seperti Statue nya Jan Pietersoon Coen yang berada di tengah kota Hoorn.
