Setelah mengikuti kelas akulturasi Belanda pada tanggal 25 Juni 2015, akhirnya saya akan kembali ke Malang, kota tempat saya menempuh pendidikan perguruan tinggai Sarjana Strata 1. Menjadi salah satu penumpang maskapai nomor wahid di Indonesia dan peringkat ke delapan dunia saya mendapatkan seat di 24 A dengan seorang bapak di sebelah saya dan ibu di sebelahnya lagi.
Sepuluh menit pertama, pesawat siap untuk take-off , seperti biasa, saya akan memanfaatkan waktu perjalanan untuk tidur. Maklum dengan insomnia yang saya punya terkadang saya hanya bisa tidur 3-4 jam sehari (tidak untuk dicontoh). Bapak disebelah saya sebenarnya ingin mengajak ngobrol panjang, namun karena rasa kantuk dan memang ingin tidur, saya hanya menjawab pertanyaan bapak tadi sekenanya saja.
Tak putus asa, setelah mengakhir percakapan dengan saya. Bapak tersebut pun mengajak mengobrol ibu di sebelahnya. Saya yang niatnya ingin tidur alhasil tidak bisa tidur setelah mendengar cerita yang beliau utarakan dalam obrolan beliau dengan si ibu. Saya hanya bisa terdiam tidak dapat berkomentar apapun, ketika seorang ibu tadi bertanya: “bapak kerja dari mana pak, tujuan nya kemana?” bapak tersebut menjawab saya mau ke Madura Bu, saya pulang dari Afrika, ini saya seharusnya flight di jam selanjutnya bu. Si Ibu menjawab: “saya juga pak, seharusnya saya flight sebelumnya, namun karena macetnya jakarta saya jadi terlambat. Bapak kenapa tidak tunggu saja jadwalnya”. Si Bapak menjawab: “saya ingin cepat pulang bu, sudah pengen ketemu anak-anak saya”.
Si ibu rupanya penasaran dengan ucapan si Bapak yang sebelumnya mengatakan bahwa Si Bapak dari Afrika, akhirnya beliau bertanya: “bapak ngapain dari Afrika Pak?” Si bapak menjawab: “Saya pelaut bu, bekerja di kapal-kapal besar”. Kemudian percakapan beliau panjang.
Seorang bapak tersebut ternyata pelaut, dalam hati saya menyatakan. Wah sayang sekali saya hanya ego untuk tidur dan menjadi tidak bisa tidur, malah mendengar percakapan beliau. Harusnya saya bisa bertanya banyak kepada Si Bapak, terkait pengalaman beliau.
Bapak tersebut bercerita bahwa ia telah lama menjalani profesi sebagai seorang pelaut, beliau telah berlayar ke seantero dunia, beliau berlayar ke Afrika, Eropa, Amerika dan tentunya Asia. Bapak ini bercerita pula bahwa kenapa beliau memilih untuk menjadi seorang pelaut. Beliau mempunyai seorang istri dan tiga orang putra (23, 16,13), alasan beliau menjadi pelaut adalah untuk menyekolahkan anaknya dan mengobati istrinya. Beliau bercerita suka duka beliau di kapal, bagaimana beliau berinteraksi dan berkomunikasi dengan para pelaut dari negara lainnya. Beliau menyatakan terkadang ada tindakan yang tidak mengenakkan dari bos beliau, ya yang namanya KKN dimana saja tetap ada, tidak hanya di Indonesia.
Sontak saya menjadi lebih menyimak beliau ketika beliau menceritakan bahwa istri beliau meninggal 4 tahun yang lalu akibat serangan jantung. Ketika itu beliau sedang dalam perjalanan dari menuju Jerman, beliau mendapatkan kabar bahwa istrinya meninggal dunia. Berselang 4 hari beliau tibalah di rumah, kampung halaman dan istrinya telah dimakamkan.
Beliau akhirnya kembali bekerja sebagai pelaut lagi, karena bingung tidak ada pekerjaan yang bisa beliau dapatkan di darat. Beliau menceritakan, harusnya anak pertamanya sudah mengenakan toga dan mengangkat bangga hasil jerih keringat bapaknya. Namun, beliau menceritakan bahwa anaknya merasakan kehilangan yang besar terhadap ibu nya dan kurangnya perhatian dari keluarga lain sehingga pendidikan nya menjadi terbengkalai sedangkan kedua putra beliau lainnya masih menempuh pendidikan SMA dan SMP. akhirnya beliau memutuskan untuk tidak lagi bekerja sebagai pelaut, beliau akan mencoba membuka usaha, beliau berargumen tidak ingin masa depan anaknya seperti beliau yang harus meninggalkan anak istri untuk menghidupi kehidupan keluarga.
Pelajaran yang saya petik kali ini, betapa seorang Bapak/Ayah/Papa/Deddy/Aba/Abi atau apapun sebutannya akan berusaha semaksimal mungkin agar anak istri nya mendapatkan kehidupan yang layak dan tercukupi kebutuhannya.