Ide itu berawal dari kekosongan waktu yang menghampiri saya paskah menyelesaikan studi. Iseng berkirim pesan dengan rekan yang sedang bersekolah (Dewi), kami membicarakan hal-hal yang mungkin bisa dikerjakan sebagai penelitian atau kegiatan bersama. Entah bagaimana ceritanya, ternyata kawan saya ini juga telah memiliki ide yang sama dengan kawannya (Rafid), yang saya belum kenal. Akhirnya, tibalah kami pada keputusan, kenapa tidak menuliskan, mengerjakan dan/atau mewujudkan ide tersebut bertiga. Menambah silahturahmi dan menjalin jejaring yang lebih luas, ide yang bagus.
Sekitar bulan November 2017 kamipun mulai menjalin komunikasi melalui grup yang diwadahi oleh aplikasi WhatsApp. Mulai saling berkenalan satu dengan yang lainnya, mengatur waktu untuk janjian komunikasi melalui skype dan ngobrol bersama lebih panjang tentang ide yang akan kami kerjakan. Setelah melalui beberapa kali proses skype meeting, akhirnya munculnya keputusan siapa yang akan menjadi ketua, sekretaris, bendahara dan segala macam tugas-tugas lainnya, kami fix akan menulis proposal untuk diikutkan dalam conservation leadership award. Tujuannya adalah agar kami mendapatkan dana dan bisa running project sesuai dengan ide-ide yang telah kami susun. Hingga sampailah saat ide dalam proposal kamiĀ berkembang ke arah genetik. Namun, tak seorang dari kami bertiga memiliki kemampuan dalam hal ini. Sehingga keputusanpun dibuat untuk mengajak salah seorang kawan yang memiliki keahlian dalam bidang ini (Mba Eka). Alhamdulillah Mba Eka melengkapi kami š dalam kebingungan. Hingga akhirnnya proses berjalan dengan lancar, proposal kamiĀ buat dan kami kumpulkan.
Setelah pengajuan proposal kami setorkan kepada panitia. Membutuhkan waktu sekitar 1.5 bulan untuk mendapatkan hasil bahwa proposal yang kami tulis lolos di ronde pertama, yang artinya kami harus melakukan beberapa perbaikan isi proposal, dikumpulkan dan dinilai kembali untuk mendapatkan hasil akhirnya. Uniknya komunikasi kami terjalin hanya melalui dunia maya, purely. Karena saya belum pernah bertemu langsung Rafid dan Mba Eka, sedangkan Dewi belum pernah bertemu dengan Mba Eka. Well ya, intinya kelompok dan proposal jadi berkat kecanggihan teknologi. Terima kasih teknologi.
Alhamdulillah tepat pada 29 Maret 2018, pengumuman resmipun diunggah oleh pihak penyelenggara (disini), yang menyatakan bahwa proposal kami diterima dan didanai untuk melakukan program yang kami usulkan. Uniknya setelah proses diterimanya, kamipun masih belum sempat duduk dna bertemu serta berbicara langsung antar sesama anggota. Untungnya, ketika saya mendapatkan kesempatan untuk mengunjungi Semarang, saya bertemu dengan Mba Eka. Namun, sampai saat ini belum bertemu dengan Rafid dan kesempatan mengobrol bersama berempat hingga saat ini belum terwujud.
Rafid, sementara ini berdomisili di Jakarta dengan zona Waktu Indonesia Barat (WIB), sedangkan Mba Eka, sementara berada di Bali dengan zona Waktu Indonesia Tengah (WITA), sedangkan saya sedang berada di Ambon dengan zona Waktu Indonesian Timur (WIT), sedangkan Dewi saat ini sedang berada di Australia yang zona waktunya berbeda 1 jam dari WIT, 2 jam dari WITA dan 3 jam dari WIB. Well, intinya kami berempat berada di empat zona waktu yang berbeda. Walaupun demikian, dalam beberapa hari terakhir kami telah melaksakan daily trainingĀ tentang materi yang telah Rafid dapatkan selama mengikuti pelatihan dari pihak CLP. Berada di empat zona waktu yang berbeda membuat kami sulit untuk melakukan skype call di jam-jam normal. Sehingga pilihan yang paling memungkinkan adalah jam 19.00 WIB, 20.00 WITA, 21.00 WIT dan 22.00 di Queensland. Empat zona waktu yang berbeda dan tim yang terpisah. Semoga kami segera dipertemukan – episode anggota yang terpisah. š