Mungkin ini adalah tulisan pertama saya untuk mereview kota Ambon, dari perspektif pendatang. 25 Februari 2018 yang lalu, saya datang dan menginjakkan kaki pertama kalinya ke kota Ambon, city of music. Kesan pertama waktu itu adalah sangat menyenangkan, disambut dengan live music di bandara dan dijemput oleh rekan kerja yang menceritakan segala tentang Ambon, which is a nice welcoming. Walaupun waktu itu, sayapun masih agak merasa kaget karena belum terbiasa menghadapi obrolan tanpa henti, in a good way. Saya mendapatkan informasi tentang Ambon banyak sekali dalam perjalanan kurang dari 45 menit, perjalanan dengan mobil dari bandara ke penginapan.
Sebelum ke penginapan, kami pun menyempatkan diri untuk sarapan terlebih dahulu. Makanan pertama yang saya coba adalah gula pulut/pulut siram? saya lupa tepatnya. Makanan yang terbuat dari ketan dan disirami dengan air gula merah. Saya selalu tertarik untuk mencoba jenis makanan atau hal-hal baru, walaupun dalam otak saya sudah terprogram sepertinya saya tidak akan begitu suka, karena gula merah rasanya manis dan saya tidak begitu suka yang manis. Tapi, tetap saya coba agar tidak penasaran bagaimana rasanya. Setelah mencobanya, benar saja, rasanya manis hingga mengarah ke pahit, saking manisnya. Sendok demi sendok akhirnya sayapun memakan, siram pulut. Nice breakfast tho 🙂 .
Pengalaman di Ambon selama sepuluh hari, membuat saya menyatakan diri, I will love Ambon, Ambon will be nice. Namun, ternyata I am not that in love with Ambon , ketika saya benar-benar pindah ke Ambon. Hal pertama yang membuat saya sedikit frustasi adalah ketika mencari tempat tinggal. Lebih dari 15 tempat saya datangi untuk menanyakan “adakah kamar kosong?” dan semua jawabannya adalah PENUH. Woowww… saya mulai mempertanyakan, penuh? kosan di Ambon, penuh? Secara tidak langsung, saya berkesimpulan, hmm,,, banyak juga pendatang di Ambon yang membutuhkan tempat tinggal. Ada tempat yang kosong tapi harganya berkisar 1.7 juta hingga 2.5 juta (tulisan tentang kosan di Ambon, bisa dibaca di sini). Wow,,, berasa tinggal di homestay dengan fasilitas breakfast di pagi hari dan dibersihkan kamar setiap hari di kota Malang. Hari demi hari saya mencari tempat tinggal dan susah sekali rasanya menemukan yang sesuai dengan rate harga yang masuk akal dengan fasilitas yang ditawarkan. Well, sampai akhirnya alhamdulillah sayapun menemukan tempat yang sesuai walaupun harganya ya begitulah :).
Setelah seminggu saya menempati tempat tinggal baru, rasanya semakin hari semakin banyak informasi yang saya kumpulkan, alasan mengapa tempat tinggal di Ambon tergolong costly. Informasi tersebut terkumpul berdasarkan fakta dan data, mulai dari harga-harga bahan makanan yang memang mahal, semua harga barang lainnya yang 10% lebih tinggi daripada di Jawa atau Jakarta, namun demand di kota ini juga tinggi. Secara ekonomi jika high demand dan limited resource ya hasilnya adalah high price. Accepted!!! Sangat make a sense kenapa harga bisa sedemikian.
Ambon, saya jadikan sebagai tempat untuk mencari pengalaman sebanyak-banyaknya, pelajaran seluas-luasnya dan saving untuk penelitian sebesar-besarnya (jika memungkinkan). Jadi kadang sayapun iseng untuk bertanya dan berdiskusi dengan rekan kerja bagaimana tips untuk spend money wisely in Ambon. Terima kasih untuk yang sudah mau berbagi. Agak sulit memang awalnya untuk menerima keadaan yang sedemikian. Apalagi ditambah beberapa pengalaman beberapa hari terakhir ketika saya berbelanja, penjual yang ada menurut saya jauh dari kata ramah. Tak jarang ketika ingin memesan sesuatu rasanya tidak diperhatikan dan benar saja begitu makanan datang, yang datang bukanlah pesanan yang benar. Tak jarang juga ketika membayar jangankan mendapat ucapan terima kasih, begitu pembayaran selesai, urusan pun selesai, alias no eye contact at all dan berasa asing sekali, belum saya temukan seumur saya hingga sekarang. Paling sering adalah ketika saya menanyakan “apakah ada barang A”, langsung cepat dijawab “seng ada” (tidak ada bahasa Ambon). Agak mengherankan menurut saya karena ketika saya tanyakan apakah beliau tahu apa yang saya cari, jawabannya adalah tidak tahu dan tidak tahu artinya tidak ada. Agak bingung karena seharusnya jika tidak tahu maka bertanya apa yang dicari, dan jika tidak barulah menjawab tidak ada. Namun, faktanya tidak demikian, jika tidak tahu jawabannya dalah tidak ada. Wuffft, setelah lebih dari 3x sayapun akhirnya menyadari, begitulah kebiasaan dan adanya. I cannot do nothing about it, yang ada saya harus mengadjust diri agar mencari sedetail mungkin setiap sudut toko dan jika tidak ada lebih baik tidak usah bertanya, kecuali memang urgent sekali. Paling penting, tidak memasukkan pengalaman sedemikian ke hati, alias tidak baperan.
Saya tahu mungkin yang membaca tulisan diatas bisa jadi langsung berpikir negatif, tapi saya yakin, akan lebih banyak pembaca positif. Karena above all, saya belajar hal baru tentang human character, human behavior. Terlebih lagi, jika kita tanggapi dengan positif maka tidak seburuk apa yang Anda pikirkan (ketika Anda membaca tulisan di atas). Ambon, menawarkan berbagai macam keragaman, berbagai macam keramahtamahan dengan caranya sendiri, menawarkan hujan yang selalu menyejukkan, tentunya menjadikan cerita dan warna baru dalam babak kehidupan pendatang. Welcome to Ambon.