Jendelaku sama dengan pintu rumah, tak terlintas niat untuk pindah (mungkin)

img_2588

Hampir disetiap pagi air mengalir dan menyentuh ambang pintu hampir disetiap rumah-rumah warga di Desa Timbulsloko. Kejadian ini telah berlangsung sejak belasan tahun yang lalu, Rob mereka mengenalnya. Rob adalah istilah yang digunakan untuk “banjir” akibat pasang air laut. Pagi itu, dalam perjalanan kurang lebih 300 meter dari rumah tempat saya tinggal ke pinggiran tempat kapal bersandar, banyak jendela-jendela yang sama dengan pintu rumahnya, anak Sekolah Dasar yang digendong ibu nya dari depan rumah hingga ke jalan akibat rob.

Kejadian yang telah terjadi belasan tahun ini sepertinya sudah membuat penduduk di Desa Timbulsloko terbiasa. Terbiasa dengan rumah yang tergenang air, terbiasa dengan menggendong anaknya setiap pagi untuk mengantarkan ke jalan yang kering. Namun, belum pernah saya dengar masyarakat mengeluh karena hal tersebut. Saya sendiri bingung dan tidak habis pikir, kenapa mereka tidak pindah saja, kenapa memilih tetap bertahan dengan keadaan yang demikian. Banyak hal yang bisa dijadikan kandidat kenapa mereka tidak mau pindah.

Pertama, masalah ekonomi, hal ini memang terkesan klasik namun memang ini nyata, di Desa Timbulsloko dengan uang lima ribu rupiah sudah bisa membeli pepaya yang kalau dimakan pagi siang sore malam pun tak habis, saking besarnya. Bisa membeli kopi susu dua cangkir dan gorengan dua buah. Bisa membeli indomie goreng/kuah, es jeruk dan gorengan. Sedangkan jika tinggal di daerah yang sedikit kota atau kota uang lima ribu hanya untuk sekali dua parkir motor. Signifikan memang perbedaannya.

Kedua, setelah saya tinggal disana selama kurang lebih 40 hari ternyata dari ujung ke ujung adalah sanak saudara semuanya. Mulai dari anak si Aa itu adalah saudara dari paman saya, sampai saudara kandung, anak dan cucu nya semua menetap disana. Jadi jika pindah ke kota maka akan sulit bagi mereka untuk mengenal lingkungan yang baru dan beradaptasi. Ketiga, jika tidak punya uang mereka tidak perlu khawatir karena bisa pinjam tetangga, bisa melaut saja barang sejam dua, pulang bisa membawa hasil ikan yang bisa dimakan atau ditukarkan dengan beras barang sekilo. Hal ini tidak akan mungkin dan sangat sulit sekali terjadi jika kita hidup di kota.

Jadi, walaupun jendela telah sama dengan pintu rumah, niat pun untuk pindah bagi warga setempat mungkin belum terlintas. Masyarakat Desa Timbulsloko kali ini mengajarkan saya bagaimana rasanya bersyukur dengan keadaan yang ada, toh dengan hidup disana mereka bisa tertawa, bahagia, merdeka dan sejahtera. Hal menarik, selang 5-10 rumah di Desa Timbulsloko bisa ditemukan masjid dan mushola :).

Leave a Reply