Nyepi – kesatuan antara Tuhan, Manusia dan Alam



Tulisan ini hanya sebatas ungkapan pemikiran yang tentunya masih bersifat superficial dan perlu kajian lagi. Namun, hal berikut tertuang atas pengalaman pertama mengalami suasana Nyepi di Bali. Nyepi, berasal dari kata sepi yang memiliki arti sunyi, senyap, dan tidak ada keramaian. Nyepi sebenarnya adalah perayaan Tahun Baru Hindu yang berdasar penanggalan atau sistem Kalender Saka yang dimulai sejak tahun 78 Masehi.

Jumat, 16 Maret 2018, sehari sebelum Nyepi. Saya menjalani rutinitas selama 44 hari belakangan. Mulai menjalani fase hidup sebagai seorang pembelajar ditempat baru. Suara burung sudah berkicau ketika saya membuka jendela, sahut menyahut satu dengan yang lainnya, angin semilir, udara pagi dan saya nikmati indahnya matahari terbit dari atap rumah. Indah… setelah menghirup udara pagi yang segar segera saya mandi sembari menikmati nada-nada darinya Birdy. Berbeda dengan hari biasanya, hari ini saya dan rekan-rekan kerja lainnya semua diperbolehkan pulang jam 1 siang atau setengah hari ini. Hal ini sebagai bentuk toleransi bagi yang akan merayakan Nyepi esok hari.

Jauh-jauh hari sebelum Nyepi, banyak sekali yang mengingatkan bahwa saya harus menyiapkan dan menyediakan stok makanan yang cukup. Hal ini dikarenakan saat Nyepi tidak boleh keluar rumah atau tidak ada aktifitas diluar rumah, sedangkan pada malam harinya, semua lampu wajib dimatikan. Well ya,,, saya yang selama ini hanya tahu Nyepi berdasarkan berita yang ada ditelevisipun excited sekali untuk mengalami suasana Nyepi. Tapi agak bingung juga jika harus diingatkan melulu dalam setiap percakapan bahwa penting menyediakan stok makanan (saya berpikir, kan cuma sehari saja???)

Sehari sebelum Nyepi, biasanya ada sebutlah “festival” Ogoh-Ogoh, patung-patungan yang dibuat menyerupai berbagai macam rupa “evil“. Tradisi arak-arakan Ogoh-ogoh ini juga kadang disebut dengan “pengerupukan”. Awalnya saya agak heran, apakah ada kerupuk juga didalamnya (silly thought). Tapi mungkin juga dinamakan pengerupukan karena nantinya Ogoh-Ogoh tersebut akan dibakar dan jadi abu, sehingga rapuh seperti remah-remah kerupuk, gitu kali ya…

Ogoh-Ogoh yang dalam bahasa Balinya itu adalah Ogah-Ogah, memiliki arti digoyang-goyangkan. Mengutip dari Sejarah Bali, Ogoh-Ogoh ini ditujukan agar Buta Kala yang merupakan bentuk dari unsur-unsur negatif ikut bersama patung “Ogoh-Ogoh” dan nantinya akan dibakar atau dilebur. Sehingga hilanglah atau berkuranglah unsur negatif di suatu tempat.

Untungnya saya dapat menyaksikan langsung festival Ogoh-Ogoh, pengalaman pertama yang menurut saya tidak hanya sekedar tradisi. Melainkan juga sebuah atraksi yang dapat dijadikan sebagai point of interest turis alias pariwisata. Sore itu ada chat masuk dari salah satu kolega yang mengajak saya untuk menyaksikan festival Ogoh-Ogoh. Awalnya sayapun ragu untuk berangkat, karena pukul 8.30 saya akan ada skype meeting terkait kegiatan yang akan saya laksanakan pertengahan tahun ini. Namun, alhamdulillah, rekan saya meyakinkan bahwa saya bisa mendapatkan keduanya, menyaksikan Ogoh-Ogoh dan skype meeting. Nice, wrap it up then!!! 😀 . Terima kasih Mba Dian dan Bli Gede!


Keesokan harinya, Nyepi! saya bangun seperti biasanya, naik ke roof top  dan you know what, it’s totally silence. Tidak ada suara motor atau kendaraan apapun. Burung-burung berkicau hingga gesekan daun-daun pun terdengar jelas. Nice, saya pikir hari ini akan menjadi hari yang indah, tanpa kebisingan. Dalam senyapnya suasana Nyepi, saya berasumsi dan berandai-andai hal ini juga harusnya terjadi di tempat-tempat lain di Indonesia. Mengandaikan jika ada satu hari di Indonesia dari Sabang sampai Marauke ada silence day. 

Siang harinya menurut saya masih biasa saja, karena saya juga sudah terbiasa tidak keluar rumah dan hanya berkutat di dalam kamar. Saya tidak begitu resah toh saya masih bisa mendengarkan musik, membaca, menonton atau menulis. Saya ingat ketika tesis melanda waktu itu, sehari saya berbelanja banyak sekali makanan dan benar, saya baru keluar kamar 5 hari kemudian. Well ya, I am totally fine with that. Selagi saya sibuk dan ada sesuatu yang harus dikerjakan it does not really matter that much. Namun, berbedanya kali ini semua stasiun televisi dimatikan dan begitupun dengan jaringan internet. Jadilah saya tidak bisa bersurfing ria di dunia perinternetan. Untung sehari sebelumnya saya sempat mampir di salah satu toko buku secondhand book di Sanur, mendapatkan satu buku yang berjudul Tulip Fever, karyanya Deborah Moggach.

Hingga malampun menjelang, barulah terasa suasana Nyepi, pelan-pelan saya membuka pintu kamar, menatap langit dan wow…. astonishing, wonderful, incredibly beautiful stars. MasyaALLAH, indahnya langit malam ini, bintang-bintang terlihat jelas, semburat warnanya tidak hanya putih namun ada seperti biru keunguan tipis menjuntai di ujung-ujung langit. Berkerlap-kerlip dan pikiran sayapun langsung melayang saat berada ditengah laut dengan longboat sambil menyaksikan indahnya bintang-bintang di tengah laut. Sunyi senyap menjadikan keheningan yang nikmat, indah sekali… indah…   

Tiga hal yang langsung saling terkait dalam otak saya, Nyepi tidak ada sekedar peringat tahun baru Saka bagi umat Hindu. Nyepi mengingatkan saya mengenai hal penting yang haruslah dimiliki kesadarannya bagi setiap umat manusia.

  1. Mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, sebagai umat beragama sayapun merasakan heningnya malam tanpa interupsi hingar bingar kesibukan duniawi menjadikan saya sebagai manusia merasa semakin kecil, yang tak terasa bahwa diantara milyaran bintang di langit sana yang baru saya sadari.
  2. Mendekatkan diri dengan sesama umat manusia, perbedaan tidaklah menjadikan kita sebagai manusia yang membeda-bedakan. Justru dengan perbedaan tersebutlah kita bisa melihat sisi lain dari sudut pandang yang juga berbeda. Karena tidak boleh keluar rumah, maka akan terciptalah kedekatan dan obrolan-obrolan hangat antar anggota keluarga.
  3. Mendekatkan diri dengan alam, jarang sekali ada momen dimana kita bisa menikmati indahnya kesenyapan dan sunyi, hanya bermesraan dengan alam, memandangi langit dan menikmati kegelapan malam. Coba bayangkan berapa banyak energi listrik yang tersimpan dari lampu-lampu yang tidak dinyalakan oleh lebih dari 4.2 juta jiwa penduduk di Bali. Bayangkan betapa senangnya udara terhindar dari racun-racun karbondioksida. Contoh sederhananya begitu.

Nah, suasana Nyepi, Tahun Baru Saka, menurut saya menyajikan pelajaran dalam satu kesatuan antara Tuhan, Manusia dan Alam.

Leave a Reply