Berpikir, berprasangka dan berkelakuan positif bukan merupakan hal yang mudah untuk dilakukan juga bukan merupakan hal yang tidak mungkin dijalani. Dua minggu terakhir ini, saya mencoba memotivasi diri sendiri dengan “treatment kaca”. Jika saya ceritakan tentang kehidupan kampus, bahwa sedari periode 3 (Januari), saya mendapati tekanan dalam proses belajar. Hal ini diindikasikan karena mendapatkan teman sekelompok yang bossy and sukanya underestimate (maaf bukan bermaksud untuk menjelekkan orang lain). Dalam hal ini, saya merasakan kembali kekuatan lima kata ajaib yang pernah saya dapatkan sewaktu SMA “masa gitu aja gak bisa” yang membuat sindrom kepercayaan diri menjadi rendah. Sebagai dampaknya, nilai hasil ujian hanya berlabel sekedar lulus (what a pity 🙁 ).
Ditambah lagi keinginan untuk melanjutkan studi ke Jerman, masih terus membayangi bahwa salah memang saya memutuskan studi disini. Sampai akhirnya, saya lihat satu dua tiga dan banyak orang yang studi disini, enjoy dan hasilnya nama mereka bisa ada di majalah dan website kampus serta dalam event internasional lainnya seperti konferensi, seminar, dan/atau lomba. Saya yang sedari periode 3 sudah merasakan sindrom kepercayaan diri rendah mulai merasa resah dan berpikir apa yang bisa saya lakukan. Memulai lagi sesuatu dari awal memang tidaklah mudah, namun jika tidak dimulai tidak ada juga proses dan hasil. Akhirnya secara perlahan saya mengirimkan beberapa karya tulis, esai singkat, lomba fotografi dan lainnya. Namun, apa daya ternyata memang tidak mudah untuk mendaki dan naik tingkat ke level berikutnya.
Pada pengumuman kompetisi yang ke-lima yang saya ikuti, akhirnya saya dapati pengumuman di pagi hari dan tidak ada nama Agustin Capriati yang dinyatakan sebagai finalis apalagi JUARA. Email yang masuk pun menyatakan not accepted. Saya putuskan akhirnya untuk menikmati perjalanan sendiri ke kota Groningen (3 jam waktu tempuhnya dari Wageningen) dengan berbekal satu buku bacaan dan minuman. Selama perjalanan, 40% saya habiskan untuk membaca, 10% untuk duduk, berdiri, berganti kereta dan selebihnya saya memikirkan dan mencatat apa yang telah saya lakukan selama beberapa bulan semenjak di Wageningen. Saya temui bahwa yang ada adalah saya tidak cukup menyukuri nikmat yang telah Allah berikan dalam kesempatan untuk studi di Wageningen dan terus mengelak dan menolak kenapa tidak di Jerman. Perjalanan 6 jam, mengajarkan saya untuk merenung dan merefleksikan diri sendiri. Akhirnya ketika sampai di Wageningen lagi, saya mendapatkan bahwa pengumuman lomba esai singkat terjadi perubahan, begitu saya lihat perubahannya ternyata nama Agustin Capriati dinyatakan sebagai juara ke-3.
Saya senyumi sinis diri kepada diri sendiri. Betapa kata juara dan bersinar di semua kegiatan telah di atur oleh-NYA. Kalimat Agustin Capriati sebagai Juara-3 menampar saya secara langsung, mengajarkan saya betapa kalimat “bersyukur maka akan KU tambah nikmat Ku“, diingatkan dan diberikan pelajaran. Akhirnya, saya putuskan untuk melakukan terapi yang pernah saya jalani ketika di SMA, terapi di depan kaca. Terapi yang menyatakan hal-hal positif terhadap diri sendiri, terapi senyum dan berpikir bahwa hari ini akan menjadi awesome dan telah di atur semuanya. Terapi yang telah saya jalani semenjak dua mingguan terakhir ini benar adanya. Sekarang, saya menemukan kembali gairah untuk aktif di kelas, gairah untuk mengobrol dengan teman sekelas. Hingga saya dapati beberapa timbal balik positif dari semua nya hingga ditunjukkan pula beberapa hal yang patut dan seharusnya saya syukuri. Seperti salah satu spot di kampus berikut: