Tuai Pembelajaran untuk Indonesia di Belanda: Kebijakan Perikanan dan Kelautan #thelastpart

Indonesia, berdasarkan penjelasan pihak pemerintahan bahwa perizinan perikanan tangkap di Indonesia masih menggunakan sistem input control. Artinya, wilayah perikanan tangkap, ukuran kapal dan jenis alat tangkap diatur dalam Peraturan Menteri No 30 Tahun 2012 secara internal. Akan tetapi, peraturan tersebut belum berdampak positif. Isu yang berkembang bahwa sumberdaya ikan mengalami deplesi atau over-exploitasi sehingga pada tahun 2014 dikeluarkan pula peraturan terbaru terkait dengan Moratorium Perizinan Perikanan Tangkap (PERMEN NO 56 Tahun 2014). Pertimbangan moratorium ini didasarkan pada tingginya angka Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) perikanan tangkap di Indonesia.

Jika kita zoom out atau dengan menggunakan kacamata global berdasarkan laporan Food and Agriculture Organization (FAO) pun tingkat IUU menduduki tingkat produksi terbesar dalam produksi perikanan. Era kementerian Ibu Susi Pudjiastuti tergolong cukup ketat dengan isu kapal IUU, terbukti berdasarkan informasi yang tertera di website Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Indonesia, terhitung sebanyak tiga puluh satu kapal illegal fishing berhasil diledakkan.

Secara statistik bahwa produksi perikanan tangkap didasarkan atau dengan basis data dari ikan yang di daratkan (landing based). Perhitungan data landing based ini yaitu dengan mengasumsikan bahwa kapal dari manapun jika mendaratkan hasil tangkapannya di lokasi A maka produksi tersebut terhitung sebagai produsk lokasi A. Tentunya, metode ini menurut saya pribadi memiliki beberapa kekurangan, karena data yang didapatkan memiliki nilai bias yang cukup tinggi jika tinjauan data untuk tiap lokasi pendaratan. Namun, sejauh ini metode inilah yang diterapkan.

Pendekatan untuk menghitung produksi perikanan tangkap ada tiga. Pertama, melalui pelabuhan perikanan yang mana erat kaitannya dengan TPI. Hal ini cukup menarik jika diulik lebih dalam. Berdasarkan informasi yang saya dapat dari penjelasan Kementerian Ekonomi (sub: fisheries) di Belanda, bahwa hasil tangkapan nelayan (usaha perikanan tangkap) wajib hukumnya untuk di daratkan di TPI sebelum disalurkan ke retailer atau consumer (market). Sehingga jelas produksi perikanan tangkap nilai yang ditunjukkan adalah sekian ton. Tentunya hal ini dengan mengabaikan nilai by-catch, high grading dan/atau discard. Selain itu, big-scale fishery juga memudahkan pemerintah untuk melakukan recording data produksi. Sedangkan di Indonesia, kebanyakan sistem perikanan tangkap adalah artisanal/small-scale fishery yang artinya banyak pelaku perikanan tangkap di Indonesia menangkap ikan hanya untuk keperluan konsumsi rumah tangga dan jika dijual dalam skala yang kecil. Hal ini berakibat pada sulitnya untuk mendapatkan nilai  dari produksi perikanan tangkap.  Hal lain yaitu karena jumlah hasil tangkapan atau spesies ikan yang tertangkapan adalah multi-species yang dapat menambah beratnya untuk proses enumerasi secara tepat.

Kedua, desa percontohan (sampling site), kegiatan pemerintahan pusat untuk melakukan sampling dari beberapa titik lokasi yang dinilai produktif. Survey atau pengambilan sampel dilakukan untuk laut (marine ) atau perairan umum meliputi rawa, danau, sungai, waduk, dan sebagainya. Form data diberikan dan dirancang oleh pemerintah pusat sehingga data yang di-entry akan memiliki kesamaan dalam format yang akan mempermudah dalam pengolahan data.  Survey dilakukan sebulan sekali yang kemudian datanya akan dikompilasi di Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi yang selanjutnya akan dikirimkan ke Pusat untuk dikelola sebagai basis data perikanan nasional.

Ketiga, pencatatan data hasil produksi perikanan melalui perusahaan perikanan. Namun, hal ini diakui belum secara optimal. Berdasarkan informasi yang saya peroleh, bahwa IUU di Indonesia kebanyakan pelakunya yaitu berasal dari perusahaan perikanan. Namun, hal ini sulit memang untuk ditelusuk lebih dalam karena berbagai faktor. Tentunya, bukan tidak mungkin ini dilakukan penelitian dan tindakan lebih lanjut dengan bekerjasama dengan perusahaan perikanan guna memperoleh data meski tidak mudah. Setelah semua data terkumpul maka proses selanjutnya sebelum diambilnya kebijakan yaitu dilakukannya validasi nasional yang dibahas dengan BALITBANG KP untuk mencapai keakuratan data. Sehingga untuk finalisasi bahasan lanjutan juga melibatkan DKP Provinsi.

Cerminan dari pengelolaan perikanan tangkap di Indonesia menurut saya pribadi sama halnya dengan pengelolaan Perikanan Tangkap di Uni Eropa (UE). Dimana jika di UE setiap negara melaporkan kondisi perikanan tangkap di negaranya masing-masing. Sedangkan di Indonesia, setiap provinsi melaporkan kondisi perikanan tangkapnya ke skala nasional. Cukup sederhana jika memang dijadikan sederhana. Namun, praktiknya, tidak bisa diungkapkan melalui tulisan singkat yang tidak lebih dari 2500 kata ini.Tuai pembelajaran untuk Indonesia di Belanda: kebijakan perikanan dan kelautan.

Referensi:

Appeltans, W., Ahyong, S. T., Anderson, G., Angel, M. V., Artois, T., Bailly, N., … & Błażewicz-Paszkowycz, M. (2012). The magnitude of global marine species diversity. Current Biology22(23), 2189-2202.

Hutomo, M., & Moosa, M. K. (2005). Indonesian marine and coastal biodiversity: Present status. Indian Journal of Marine Sciences34(1), 88-97.

Marquez, René. (1990). Sea turtles of the world, an annotated and illustrated catalogue of sea turtle species known to date, FAO Species Catalogue, No. 11. 1-81.

Moosa M K, Kastoro W & Romimohtarto K (eds), Geographic distribution map of some marine biota in  Indonesian waters. Lembaga Oseanologi Nasional, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (1980) pp. 118 (in Indonesian)

Valentine, J W , Systematic Zoology, 20 (1971) 253-264.

Leave a Reply