Rabu, 14 September 2016.
Tepat pukul 01.30 am saya sampai di Stasiun Tawang Semarang, saya yang tidak enak untuk langsung pulang ke kosan Cici dan Aini akhirnya memutuskan untuk menunggu setelah shubuh baru pulang. Pukul 04.34am akhirnya saya naik Go-Jek dan pulang. Bapak Go-Jek nya baik, beliau berasal dari Solo yang mempunyai seorang istri berdarah Palembang. Namun sayangnya kesan orang Palembang bagi beliau pun adalah seram dan keras. Beliau memiliki 3 orang adik, satu berstatus sebagai mahasiswa, satu telah bekerja dan satu nya lagi masih bersekolah. Beliau menceritakan sebagai seorang kakak ya saling bahu membahu untuk menyekolahkan adiknya.
Beliau kemudian juga menanyakan apakah saya mahasiswa, dan saya menjawab iya. Kemudian beliau bertanya semester berapa? saya berbohong menjawab semester 7. Meskipun memang beliau baik tapi saya harus tetap waspada dan tidak mengundang asumsi bahwa saya bukan orang Semarang yang artinya bisa dapat disesatkan atau jalannya diperlama dan tidak benar. Maklum sebagai perempuan juga kita wajib untuk berjaga diri dan berlagak sotoy kadang. Maaf ya pak, jika saya berbohong, waktu itu saya memikirkan untuk kebaikan diri saya pribadi.
Sesampainya dikosan Cici dan Aini, rekan saya menelepon memastkan bahwa apakah saya sudah sampai. Kemudian saya segera, mandi, sholat dan mengobrol sebentar dengan Cici dan Aini yang telah menyedu teh panas di pagi hari. Saya janjian dengan Mas Tyo (partner lapang saya) untuk ke Demak pukul 09.00am. Jujur saja, saya sedikit capek dari Malang pukul 03 sore dan sampai Semarang pukul 01.30 pagi, menunggu di stasiun hingga 04.34am. Alhamdulillah Mas Tyo okay, untuk berangkat jam segitu ke Demak.
Sesampainya di Demak, kami ke rumah Pak Slamet (nelayan yang mengantarkan kami dengan kapalnya), dirumah beliau saya disuguhkan nasi kotak (karena waktu itu ada acara di Desa dan banyak warga yang tidak datang sehingga nasi kotaknya dibagikan dan Pak Slamet pun dapat). Karena baru saja makan kami pun tidak langsung membukanya dan karena tawaran yan terus menerus akhirnya saya memakan buah pisang yang ada dalam paketan nasi kotak tersebut.
Kemudian Pak Slamet menunjukkan kepiting dalam wadah yang cukup besar (ember), beliau menanyakan “apa mau makan ini?” kami tak berkata apa-apa, namun beliau langsung menyambung dengan “ini buk, masake kepiting ne“. Tak lama bau bumbu-bumbu yang enak sekali tercium dari dapur Pak Slamet, ternyata si Ibu langsung memasak kepiting tersebut. Kemudian dihidangkan kepada kami, tak bisa lagi menolak, karena nasi sudah di dalam piring dan kepiting pun demikian, kami disuruh makan. Walau masih kenyang tapi tak mungkin kami menolak untuk kedua kalinya. Akhirnya kamipun makan, Helmi, cucu beliau (umurnya 13 tahun, SMP kelas 1) kami ajak makan bersama juga.
Selepas sholat ashar kemudian kami ke lapang, bersiap melakukan sampling, sampling site pertama, kami lakukan di daerah dekat pantai. Penelitian ini memang sedikit rumit, namun juga mengasyikan, bagaimana tidak kami harus bersiap-siap bau lumpur setiap hari, masuk air dengan substrat yang berlumpur pula, berpanas-panasan dengan suhu rata-rata 32 derajat. Alhamdulillah kami bisa menikmati nya. Perlahan kami melakukan sampling dan mengumpulkan sedikit demi sedikit data yang kami butuhkan.
Malamnya, kami melakukan sorting and handling sample. Sekitar pukul 08.00pm saya selalu meminta tim untuk bersama-sama mengadakan evaluasi dan setelahnya mewajibkan untuk menuliskan di notebook apa saja yang kami lakukan dan catatan penting apa yang bisa diperbaiki untuk pengambilan sampling berikutnya agar lebih efektif.
Timbulsloko, 14 September 2016.