Terlelap malam itu tanpa sempat berganti pakaian tidur dan menggosok gigi ataupun mencuci muka. Betapa malam itu memanggil menyuruh tidur dan memohon untuk sejenak tanpa urusan duniawi. Kantung mata memang mulai tampak sembab dan sedikit menghitam. Ya memang dalam beberapa hari terakhir mata ini harus kerja ekstra demi secarik kertas-kertas yang akan menentukan nilai saya nanti.
Tulisan-tulisan tangan mulai tak beraturan, stamina mulai berfluktuasi, tidak lagi fluktuasi namun secara drastis menurun. Pacarku alam malam itu, pacarku alam!
Angin dan dingin bersahabat ketika ku kayuhkan pedal sepeda menuju asrama. Suara daun-daun yang berjatuhan memang menguasai suasana, sepi di jalan membuat keadaan memang terasa horor. Alam mengajak ku berbicara, mereka berbisik, rasakan kami, rasakan kami… tak ada angin, tak ada dingin. Kami lembut membelai mu, memberi mu kesejukan walau kadang tak kau inginkan.
Memberi mu kehangatan walau kau katakan kami dingin. Pacarku alam, saat tak ada interaksi dengan manusia, pacarku alam!
Tidur tanpa sempat berganti pakaian tidur, alam tetap lembut menyapa. Hai, selamat pagi katanya, lembut angin membelai, pacarku alam. Ternyata saya hanya bermimpi.
Nyanyian malam,
Pacarku alam.
Wageningen, 12 November 2015.