Semerbak harum meruap kuat, sesaat setelah saya menuangkan kopi panas, mengisi tiga perempat gelas bening, bergerigi dengan motif bunga-bunga, seperti gelas-gelas yang di produksi beberapa belas tahun silam. Tiga perempat gelas kopi yang telah lama sekali tidak pernah saya seruput dan nikmati. Pagi itu, ditemani dengan dua keping biskuit gula dan sepotong pisang goreng, saya duduk di depan teras rumah.
Sembari menikmati suara deburan ombak, gulungan-gulungan gelombang kecil dan hamparan laut lepas berjarak tak kurang dari lima puluh meter tepat di depan rumah. Semilir angin sejuk menyapu muka, mulailah saya membaca, sembari mengingat-ingat materi yang ada. Modul satu sampai modul tujuh sebenarnya sudah tidak kurang dari dua kali saya baca dalam seminggu terakhir. Rangkuman materi yang sekiranya pentingpun sudah saya ringkas dan baca berulang-ulang. Membaca halaman demi halaman berisikan rangkuman yang telah saya buat dari panduan materi yang akan diujikan pagi itu. Iya, tak kurang dari satu jam lagi saya akan mengukuti ujian, uji kompetensi tentang pengelolaan kawasan konservasi perairan.
Berselang lima belas menit kemudian, saya dan tim lainnya telah siap menuju ke tempat uji. Mungkin berjarak kurang lebih 500 meter dari penginapan. Namun, jalan yang menanjak dengan menapaki anak-anak tangga yang berjumlah empat puluh anak tangga membuat nafas saya naik turun. Sesampainya di lokasi uji, sayapun bersegera meletakkan tas dan barang bawaan pada tempatnya.
Ternyata masyarakat yang kemarin mengikuti pelatihan pun sudah ramai dan berkumpul, ada yang masih merokok sembari mengobrol. Ada pula yang sedang sibuk dengan kertas modul pelatihan yang telah diberikan semenjak hari pertama mereka mengikuti kegiatan. Ada rasa senang dan bangga ketika saya melewati dua tiga orang masyarakat yang sedang asyik merokok dan mengobrol dengan bahan obrolan yang ternyata adalah materi-materi pelatihan. Ah, rasanya senang tak terkira yang mungkin jika ada salah seorang dari mereka yang melihat garis senyum jelas terlihat di wajah saya.
Ketika seorang penguji meminta semua peserta masuk ke ruangan uji, derap-derap langkah pelan dan api rokokpun mereka injak dan matikan, bersegera menuju pintu kelas berukuran dua kali dua meter. Tegas penguji pun mulai membuka acara yang dilanjutkan dengan pengumuman siapa yang akan mendapatkan giliran pertama untuk di uji. Setelah jelas, kami pun peserta uji, keluar ruangan dan hanya bisa berkomat-kamit mengingat dan membaca serta menghapal materi dengan caranya masing-masing.
Kebetulan saya bersamaan dengan dua orang lainnya, memasuki ruangan uji dan diberikan setumpuk soal yang jumlahnya terdiri dari belasan halaman. Belum saya sentuh lembar-lembar soal tersebut, jantung saya berdetak lebih cepat dan nadi sayapun mengikuti hal yang sama. Sesaat saya merasa agak sesak, namun jernih saya berpikir kalau ini adalah efek samping dari excitement. Sayapun ingat, otak saya membutuhkan lebih banyak oksigen dengan kondisi seperti ini, tarikan nafas dalam-dalam dua tiga kali saya ulangi, hingga mulai tenang, satu dua kali air putih yang saya bawa pun saya minum perlahan.
Berlembar-lembar soal tersebut belum dipegang, masih lekat saya pandangi saja. Otak saya masih sibuk berpikir, jika ini dan jika itu, bagaimana jika soal yang keluar adalah materi yang belum saya kuasai, bagaimana ini dan bagaimana itu. Saraf-saraf neuron saya rasanya sibuk dengan probabilitas yang ada, sayapun sempat diam beberapa detik. Ah, iya dalam hati saya ingat, saya belum berdoa. Menghabiskan waktu sejenak dan hikmat sayapun berdoa, semoga ujian ini diperlancar dan dapat memberikan jawaban yang tepat, sebaik mungkin. Mantap, sayapun membuka lembar soal dan mulai menuliskan nama, nama penguji, serta tanggal hari ini.
Menghabiskan total waktu kurang dari dua setengah jam untuk menyelesaikan soal-soal yang diberikan. Legah rasanya, ketika akhirnya saya beristirahat dan bersantai di depan ruang uji. Tak lama, sebut saja Pak Mas menghampiri saya dan berkata “memang berbeda ya mbak, jika orang pintar dan orang bodoh mengikuti ujian”, agak kaget mendengar pernyataan sedemikian, mulai saya memerhatikan dan mencerna ucapan yang baru saja beliau katakan.
Melihat ekspresi saya sedemikian Pak Mas segera memberikan penjelasan tentang ucapan yang baru saya beliau lontarkan. “maksud saya, saya sudah lama sekali tidak menulis dan tidak pernah membaca mba, mungkin sudah lebih dari dua puluh tahun yang lalu, pusing membaca soal-soalnya”. Sayapun tersenyum tipis dengan bola mata yang masih penuh tanda tanya, ingin berucap tapi tak yakin jika akan benar yang saya ucapkan, akhirnya saya memilih diam dan menyimak sembari menerka mungkin Pak Mas mau menyampaikan sesuatu lagi.
Ternyata benar, Pak Mas sempat menanyakan beberapa soal yang masih ia ingat dan sepertinya hanya ingin mengonfirmasi apakah jawaban beliau benar. Mantap saya menjawab, “wah.. Pak Mas hebat, betul jawabannya, sudah sangat baik Pak ditambahkan dengan contoh pengalaman pribadi Bapak sebagai nelayan, bagus sekali”, sebelum beliau mengucapkan kalimat lagi, saya pun meneruskan kalimat saya “jadi tidak ada orang yang bodoh dan orang pintar ya Pak, yang ada orang yang lebih tahu terlebih dahulu dan perbedaan usaha nya saja”, sembari tersenyum dan menatap beliau.
Beliau pun membalas kalimat saya dengan “saya berdoa semoga ilmu yang mbak ajarkan dapat bermanfaat dan mendapatkan pahala”. Ada haru ketika mendengar seorang nelayan yang hanya menamatkan sekolah dasar beberapa puluh tahun silam mengucapkan hal yang demikian. Sejenak saya tidak bisa menelan air ludah dan rasanya seperti tersedak sesaat, jantung rasanya berhenti memompakan darah dan oksigen ke seluruh tubuh. Ah, sungguh pengalaman pelatihan dan uji yang sulit akan terlupa dan akan dengan jelas terekam di otak saya.
Rhun, 23.12 – 6 April 2019 (tetap sebelum Rhun tertidur).
ps: modifikasi telah dilakukan dari catatan asli guna flow bacaan yang lebih baik