Refleksi dua tahun menjadi “pekerja”


Benar, waktu berjalan begitu cepat. Tidak terasa, seperti oksigen-oksigen yang mengalir ke seluruh tubuh yang dibawa oleh pembuluh-pembuluh darah. Ia bergerak begitu saja, tanpa terasa, tanpa diminta. Benar saja waktu pun tidak pernah meminta persetujuan mu atau persetujuan siapapun agar ia tetap berjalan, hanya Sang Pencipta Nya lah yang mampu menghentikannya.


1 Februari 2020. Sudah memasuki bulan kedua di tahun 2020. Padahal rasanya baru kemarin merayakan tahun baru 2018, pun 2019 tak terasa sudah lewat begitu saja. Artinya, ini adalah tahun kedua saya resmi secara hukum (formal dan informal) menyandang jabatan sebagai pekerja. Menjalankan sebagian besar dari ujung semua kegiatan yang dilakukan, yakni “bekerja”. Tak terasa, dua tahun berlalu…

Tahun kedua, saya mendapatkan pembelajaran yang cukup signifikan. Signifikan dalam berbagai nilai, positif dan negatif (tentu dari sudut pandang setiap individu masing-masing menilainya). Pada tahun pertama (2019) lalu, saya mencatatkan sepuluh (10) poin penting yang menjadi refleksi (dapat dibaca di sini). Sama halnya dengan tahun ini, saya juga ingin memberikan refleksi tahun kedua:

  1. Tahu tidak hanya sekedar kenal. Saya sudah bisa mengidentifikasi dan membuktikannya dengan seksama, siapa orang yang saya tahu dan yang saya kenal. Seiring berjalannya waktu, tentunya saya belajar bagaimana tipe setiap orang baik dalam pekerjaan atau pun dalam kehidupan keseharian.
  2. Pendapatan bukan lagi pertimbangan. Alhamdulillah di tahun kedua saya mendapatkan kesempatan “promoted” bisa dibilang. Karena di tahun kedua saya diberikan amanah baru dan title baru. Tentunya hal ini berdampak terhadap nilai pendapatan. Namun, semakin saya sadari bahwa pendapatan hanyalah berupa angka. Angka yang lantas tidak langsung bisa diterjemahkan menjadi nilai. Hal ini menyadarkan saya bahwa yang saya butuhkan bukanlah angka melainkan nilai. Untungnya, saya juga tidak pernah meminta angka dan ternyata hipotesis saya terhadap angka pun benar :). Iyap, karena rasanya cukup melihat dua orang yang paling dekat dengan saya, menjadi berubah karena mendapatkan “angka” yang cukup fantastis sebagai pendapatannya. Saya tentunya senang namun mungkin ia melihat angka tersebut sebagai nilai yang berbeda, yang juga pada akhirnya dapat membuat sikapnya menjadi berbeda. Alhamdulillah saya juga mendapatkan pembelajaran yang sangat berharga dari mentor saya yakni “anggap saja selisih angka yang kita harapkan dan yang kita dapatkan adalah sedekah atau investasi” dengan begitu akan selalu bersyukur dan senang :).
  3. Sabar. Mungkin ini adalah refleksi yang akan berjalan setiap tahunnya dan seumur hidup. Sabar… iya, karena tidak semua yang kita inginkan atau yang kita maksudkan diterima seperti yang ditujukan. Mungkin kita menilai bahwa yang telah kita berikan adalah 125% (bahkan melampaui nilai maksimal 100%). Namun yang diterima adalah hanya 75% (misalnya). Tentu kita tidak bisa menyalahkan atau memberikan pendapat se-pihak bahwa kenapa yang diterima hanya 75% instead of 125%? Ya mungkin selisih nya yakni 50% corrupt di tengah jalan, mungkin juga yang kita berikan tidak bisa terbaca sepenuhnya. Nah ini harusnya menjadikan titik pembelajaran juga untuk belajar komunikasi lebih optimal, agar apa yang kita berikan sama dengan apa yang diterima oleh orang yang kita tujukan. Hal ini saya alami, tidak hanya dalam kehidupan pekerjaan melainkan juga dalam kehidupan pribadi dalam menjalin hubungan dengan manusia-manusia di bumi ini.
  4. Komunikasi efektif. Pada tahun 2018-2019 atau tahun pertama bekerja, rasanya “sekarat atau hampir mati” dengan pola komunikasi saya yang entah terbilang cukup buruk atau buruk. Terjadi beberapa kali tensi yang tak jarang memengaruhi mood. Untungnya tidak memengaruhi performance saya dalam bekerja, tapi lebih “nyeseknya” adalah memengaruhi orang-orang disekitar saya. Terutama orang-orang yang sudah saya kenal dengan sangat dekat. Akibatnya? ya tentu banyak tengkar dan cekcok. I thought, we speak the same language but we were not. Well, hal ini berdampak hebat juga di penghujung 2019.
  5. “Dicerna” bukan diresap. Mungkin terms yang hampir sama. Namun menurut saya memiliki arti yang berbeda serta menghasilkan tindakan yang berbeda pula. Tahun kedua bekerja, untuk kali pertamanya saya mencicipi yang namanya Instalasi Gawat Darurat (IGD). Yes!! IGD!!! Akhirnya :D. Intensitas pekerjaan sebenarnya biasa saja, namun yang membuatnya agak lebih menguras tenaga pikiran jiwa dan raga nampaknya adalah karena harus berhubungan dengan orang lain. Ini menjadi pembelajaran bagi diri saya sendiri, reminder yang cukup keras. Karena seyogyanya menjalani hubungan dengan manusia bukan seperti komputer yang jika kita menyampaikan A diterjemahkan dengan A, bisa jadi B C atau bahkan Z which is sama sekali gak nyambung. Nah, karena hal yang begini… membuat saya banyak meresapi dan “memikirkan” nya, memikirkan strategi apa yang paling baik untuk saya jalani. Tapi rasa resap itu tidaklah saya habiskan dan malah menyisakan tumpukan-tumpukan pemikiran yang hanya saya sendiri merasakannya. Intinya, menjadi lebih berat karena hanya diresapi. Beda jika saya mencerna, maka, permasalahan tersebut saya resapi dulu lalu saya tuntaskan. Sehingga tidak menyisakan pemikiran rumit. Dicerna! (semoga pembaca paham dengan maksud penjelasan saya yang cukup rumit).

Lima hal tersebutlah yang menjadi refleksi utama dalam tahun kedua bekerja. Bukan berarti sepuluh refleksi di tahun 2019 sudah selesai ya 🙂 on process in implementing. Harus terus bergerak, terus belajar!

Leave a Reply