Surat dari Saparua


Remaja-remaja yang mungkin berumur mungkin 17-25 tahun berlari-lari mengejar mobil-mobil yang mulai memasuki area parkir di Pelabuhan Tulehu. Pelabuhan yang kabarnya akan didorong sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) pariwisata. Di pelabuhan inilah bersandar kapal-kapal yang beraneka rupa mulai dari kapal cepat Express Cantika, yang berukuran lebih dari 10 meter hingga kapal setrika yang berukuran sekitar 2 meter. Kapal-kapal ini menjadi penggerak dan sarana transportasi masyarakat dari Ambon ke beberapa pulau lainnya seperti Saparuam, Haruku dan Nusa Laut.

Begitu mobil berhenti, dengan sigap remaja-remaja itupun membuka bagasi mobil, menawarkan jasanya untuk mengangkut barang-barang calon penumpang kapal cepat ataupun kapal setrika. Merasa seperti tidak diberikan pilihan lain, akhirnya sayapun menggunakan jasanya untuk membantu membawa barang saya ke atas kapal. Cekatan membawakan barang saya, mereka pun meminta saya untuk membeli tiket di loket pembelian.

Loket pembelian tiket terletak di bagian depan sudut kanan, dengan lubang kecil yang menghubungkan calon penumpang dan petugas pelabuhan, sayapun memesan satu tiket dengan tujuan Pulau Saparua. Harga tiketnya beragam, tergantung dengan jenis kelas yang akan diambil, untuk ekonomi cukup membayar 60 ribu rupiah, sedangkan untuk kelas VIP membayar 160 ribu rupiah.

Berjajaran dengan tempat pembelian tiket, banyak orang-orang yang menjajakan makanan dan minuman. Kopi, teh, mie rebus, nasi kuning, hingga makanan ringan yang bisa dibawapun turut serta dijual disana. Wajah-wajah beliau penuh harapan dan keyakinan bahwa hari ini akan ada orang yang membeli dagangannya. Semangatnya, saya tatap sekilas wajah-wajah penuh harap di Pelabuhan Tulehu.

Sesampainya di kapal, sayapun naik dengan tangga menuju ruang sesuai dengan tiket yang sudah saya beli. Begitu memasuki ruangan, remaja-remaja yang telah membawakan barang saya sudah menunggu dan menjaga barang-barang. Jasa mereka tidak ada standar harganya, mereka tidak memberikan nilai berapa jasa yang mereka tawarkan untuk dibayar. Alhasil, saat seperti ini, keikhlasan hati para penumpanglah yang mereka harapkan agar bisa memberikan nilai tukar yang cukup baik atas bantuannya.

Di dalam ruangan, saya melihat ibu-ibu duduk di bangku paling depan dua orang, mengambil sudut kanan dekat jendela, sedangkan di baris kedua ada seorang bapak dengan barang-barang bawaannya yang cukup banyak. Saya pun mengambil posisi di baris ke empat dekat dengan jendela di sebelah kanan. Jumlah baris bangku yang berjajar hanya 7 yang masing-masing terdirid dari 10 bangku berjajar yang dipisahkan oleh spasi untuk berjalan.

Melepaskan tali tambatnya, perlahan kapal bergerak meninggalkan pelabuhan. Pelan-pelan hingga semakin cepat dan kecepatan konstan.  Melintasi lautan yang biru, diiringi suara mesin kapal dan ombak yang dibuat akibat gesekan kapal serta menikmati perjalanan dengan hijaunya pepohohan dari hutan-hutan Ambon, menjadikan perjalanan saya kali ini nikmat. Sempat mengambil beberapa foto dan video akhirnya saya putuskan untuk menikmatinya dengan membaca buku sembari sesekali memandang lautan yang luas.

Perjalanan ke Saparua memakan waktu lebih kurang 1 jam (bersambung…)

Leave a Reply