Tuai Pembelajaran untuk Indonesia di Belanda: Kebijakan Perikanan dan Kelautan #Part1

“Nenek moyangku seorang pelaut” sepenggal kalimat yang sudah sangat jarang terdengar dan dinyanyikan oleh generasi 2000an. Generasi yang terkenal dengan memakai kacamata, menggunakan kawat gigi, dan akrab dengan perkembangan teknologi serta gadget terbaru dan super canggih. Saya tidak menapikkan bahwa memang teknologi membawa perubahan dan kemajuan yang pesat jika dimanfaatkan sebagaimana meskinya. Namun, hal-hal yang bersifat tradisional (nyanyian, tarian, budaya, permainan dan/atau bahkan bahasa) kian menghilang bak “nenek moyangku seorang pelaut” yang entah bisa diartikan bahwa suatu saat memang kapalnya mungkin bisa karam. Walaupun katanya menempuh badai sudah biasa. Namun badai pasti berlalu bukan? Seperti sepenggal lirik lagu oleh Chrisye. Akan tetapi saya menyimpulkan bahwa untuk menarik garis lurus sejarah, mengingat, mengerti dan mengimplementasikan bukanlah sebuah garis linear baik positif atau negatif. Akan tetapi memiliki kecenderungan seperti kurva sigmoid yang haruslah kita iterasikan menjadi fungsi logaritma agar bisa lurus. Pembelajaran yang bisa kita petik untuk kembali ke era “nenek moyang ku seorang pelaut” yang lebih modern, berwawasan luas dan berdaya saing global.

Berdasarkan pertimbangan para ahli (expert judgement) bahwa secara global, biodiversitas spesies laut antara 704.000 dan 972.000, dimana satu pertiga spesies yang baru bisa di deskripsikan (Appeltans et al. 2012). Indonesia mimiliki 3.215 jenis ikan laut (fishbase, 2014), 6 dari 7 jenis penyu di dunia (Marquez, 1990), 1500 jenis gastropoda (Moosa et al. 1980), 1000 jenis bivalvia (Valentine, 1971) serta serentetan jenis lainnya yang mutlak bisa dikatakan sebagai mega-biodiversitas dunia. Kesengajaan memang dituliskan terhadap sumber referensi yang tidak terbarukan dikarenakan bahwa semakin banyaknya penemuan-penemuan terbaru tentang spesies laut di Indonesia belum bisa diukur. Hutomo dan Moosa (2005) menuliskan bahwa biodiversitas di Indonesia memang belum tereskplorasi dan terdokumentasi dengan baik. Letak geografis dalam segitiga terumbu karang “coral triangle center” menjadikan Indonesia sebagai negara yang menarik pusat perhatian dalam bidang kelautan dan perikanan. Betapi nilai infiniti memang ada dan bahkan sebanyak 26 abjad tak mampu mengungkapkan tentang kekayaaan laut Indonesia.

Gelora negara maritim semakin menggebu di era pemerintahan terbaru. Peraturan ini dan itu serta rentetan kebijakan tertulis jelas dalam Undang-Undang. Semenjak menandatangi perjanjian atau pengesahan pada United Nations Convention on Biological Diversity (UNCBD) tahun 1992, Indonesia berkewajiban melindungi keanekaragam hayati termasuk didalamnya perikanan dan kelautan. Hasilnya dikeluarkanlah Undang-Undang No. 5 Tahun 1994 sebagai bentuk komitmen akan perjanjian yang telah dibuat. Selain daripada itu, serangkaian Undang-Undang (UU) dan Peraturan Pemerintah (PP) lainnya pun (PP No. 7 Tahun 1999, PP No. 8 Tahun 1999, PP No. 60 tahun 2007, UU No 26 dan 27, tahun 2007) turut serta meramaikan peraturan-peraturan dan perundang-undangan yang ada. Namun sayang, peraturan tinggallah peraturan dan Undang-Undang pun kerap dijadikan proyekkan….

Secara gamblang saya menyimpulkan bahwa kekayaan perikanan dan kelautan Indonesia berbanding terbalik dengan perilaku pengambilan kebijakan yang tak jarang hanya memikirkan kantong dan tekanan politik semata. Adanya pendapat bahwa sistem penilaian tentang keefektifan Dewan Perwakilan Rakyat dicerminkan oleh berapa banyak Undang-Undang yang mereka produksi bukan dampak dari UU yang diterbitkan. Secara awam saya menilai bahwa memang kadang tuntutan politik suaranya lebih nyaring daripada suara gesekan angin oleh daun-daun mangrove di pinggir pantai, suara-suara ikan memang tak terdengar karena ia berada di lautan, berada di dalam air jauh dari jangkauan telinga-telinga para wakil rakyat.

Bersambung… Part 2

Leave a Reply