Tuai Pembelajaran untuk Indonesia di Belanda: Kebijakan Perikanan dan Kelautan #part2

Gelar Prof, Ph.D serta jejeran barisan gelar lainnya dalam sebuah nama para pengambil kebijakan nampak indah. Namun sebagai rakyat, kami tidak mengerti dengan dunia pendidikan yang diciptakan oleh Undang-Undang. Kebijakan yang diambil berdasarkan gelar pendidikan yang didapat. Dunia pendidikan yang kelulusannya ditentukan oleh nilai-nilai eksakta dan tulisan serta hitung-hitungan disecarik kertas. Tak pernah saya alami bahwa ujian pendidikan satu dari sekian banyak soalnya tentang tuliskan puisi untuk alam, atau nyanyian sang ikan, dan bahkan suara nelayan. Hal ini menandakan bahwa penentuan keputusan dalam pengambilan kebijakan memang sarat akan makna-makna sosial, imajinasi dan miris dalam inovasi. Terlepas dari peliknya tentang kebijakan perikanan dan kelautan di Indonesia. Ayat suci Al-Quran pun banyak membahas secara khusus tentang laut, lautan atau kelautan (lebih dari 40 ayat) yang tidak terlepas dari kekayaan sumberdaya untuk pemenuhan kebutuhan manusia. “kail dan jala mampu menghidupimu” kembali lagi penggalan lirik lagu harusnya telah memberikan identitas diri betapa kayanya laut Indonesia.

Doktrin atau pernyataan yang terjejal dalam pikiran hampir seluruh warga Indonesia adalah pernah dijajah oleh Belanda selama 350 tahun lamanya. Tak jarang jika mendengar kata “Belanda” tensi muncul secara tiba-tiba. Namun, disinilah saya sekarang melanjutkan pendidikan strata-2. Mengulik tujuan melanjutkan kuliah tidak cukup sekedar 24 jam bukan berarti tidak bisa dijawab dalam waktu 60 detik, yang saya yakini saya dituliskan untuk menyenyam, mencerna dan belajar di Belanda.

Resmi dinyatakan sebagai salah satu dari penerima beasiswa StuNed (Studeren in Nederland)  pada 12 Mei 2015 dengan program jurusan Aquaculture and Marine Resource Management (2 tahun program). Hal ini diartikan bahwa selama 2 tahun masa pendidikan saya akan belajar tentang perikanan dan kelautan mulai dari budidaya, manajemen sumberdaya dan ekologi serta kebijakan perikanan dan kelautan. Menarik untuk diuraikan tentang sistem pendidikan yang berjalan hingga bisa menggiring mahasiswa dalam pemikiran ilmiah secara sains dan sosial hingga pengambilan kebijakan dan dampaknya.

Berbicara tentang pendidikan tentulah banyak pro dan kontra mengenai metode ini dan itu. Berkali-kali yang namanya “kurikulum” telah berubah di Indonesia. Akan tetapi yang menjadi pertanyaan adalah “apakah ada sistem evaluasi kurikulum mana yang paling efektif dan efisien baik dari segi pelajar dan pengajar?”. Anehnya tingkat kesuksessan studi terkadang sarat akan kontroversi dalam nilai semata. Saya tidak tahu banyak tentang dunia kependidikan dan isu yang berkembang didalamnya, mohon dikoreksi jika pendapat saya salah.

Terlepas dari menempuh pendidikan secara formal pembelajaran besar tak jarang muncul dari pendidikan informal. Pengalaman kerja misalnya, merupakan amanah besar sebagai prasarana dan sarana mengimplementasi dan menyalurkan kreasi ilmu dan inovasi. Tertanggal 17 November 2015 saya diberikan amanah dari pihak Center for Development Innovation (CDI) dari Wageningen University and Research Centre (WUR). Tawaran untuk menjadi interpreter dalam kegiatan training course pada bulan Desember 2015. Sempat kagok untuk menerjemahkan Bahasa Inggris menjadi Bahasa Indonesia dan kadang sebaliknya. Saya namakan kerja plus plus (++) di CDI, WUR. Komentar yang dapat diasumsikan pembaca adalah suatu korelasi negatif terhadap pekerjaan yang dilakukan. Bagaimana tidak, mesin pintar yang diagung-agungkan dijaman sekarang “google” yang jika dikombinasikan oleh dua puluh enam huruf dengan merangkai tiga kalimat “kerja plus plus” maka hasil yang dikeluarkan yaitu sebanyak 1.340.000 artikel dalam jangka waktu 0.59 detik. Akan tetapi, hal ini terpampang nyata bahwa artikel terkait berisikan tulisan yang mencerminkan pandangan negatif atau bahkan asusila. Hal ini dikarenakan penggunaan otak kanan diisi tidak sebagaimana mestinya.

Bersambung …. Part 3

Leave a Reply